Tidak terasa, hampir tiga bulan paska diumumkannya seraca resmi kasus Corona di Indonesia, saat ini kita terjebak dalam kehidupan normal yang baru. Harus melakukan berbagai aktivitas dari rumah Yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Kita tentu berharap pandemi Covid-19 akan segera berlalu. Namun, tren angka sebaran infeksi akibat virus Corona justru semakin meningkat seolah tidak terkendali.
Meningkatnya angka mereka yang terinfeksi dan meninggal akibat penyakit Covid-19, keterlambatan penangan pasien terduga Covid akibat hambatan dan buntunya akses pada tes molekular, ketidak kompakan lini koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, hingga pernyataan penguasa yang berbeda dengan kenyataan di lapangan: semua menumpuk jadi satu, kusut.
Maka wajar, jika warga hadir di tengah negara untuk saling bantu, gotong- royong dan bahu membahu untuk sekadar saling mengedukasi sesame tentang pentingnya tetap berada di rumah guna memutus mata rantai virus corona. Ada pula yang berdonasi untuk mendukung tenaga kesehatan yang nampak mulai lelah menghadapi “bandelnya” pemerintah yang terasa kurang mengutamakan jaminan kesehatan dan keselamatan korps terdepan yang merawat pasien Covid-19. Termasuk kelompok Lapor Covid-19 yang mengumpulkan data warga melalui WA dan telegram Botnya.
Gerakan protes akan lambannya penanganan wabah Covid-19 ini tanpa kita sadari telah muncul sejak dini pandemic memasuki negeri ini, bahkan tumbuhnya justru dimulai oleh bagian pemerintah itu sendiri. Tidak mau menunggu terlalu lama, -atau bahkan seakan tidak percaya- pada pemeritah pusat, beberapa kepala daerah justru langsung bertindak di lapangan. Mengumpulkan data, melakukan tindakan preventif di masyarakat, serta langsung menyiapkan tindakan kuratif di fasilitas kesehatan daerah. Menyiapkan pendataan penyebaran, merumuskan modeling distribusi penyakit di wilayah masing-masing, gotong -royong di lapangan dan seterusnya. Semua ini dilakukan karena hampanya acuan dari pusat untuk penanganan wabah.
Begitulah. Memang pada ahirnya kita tidak bisa menyerahkan semua penyelesaian penanganan pandemic Corona ini kepada pemerintah semata. Berdasarkan ketersediaan data penderita Covid-19 dan orang yang memiliki gejala yang diduga Covid-19, ke 34 provinsi di Indonesia sudah terpapar infeksi Corona. Wabahnya sudah luarbiasa merata di tanah Jawa, Sulawesi Selatan, beberapa wilayah di Sumatera, serta beberapa bagian di Indonesia Timur.
Tentu kita tidak ingin mengulang sejarah kelam pageblug yang menghantam seluruh nusantara sekitar 1918-1920an. Penelurusan sejarah menunjukkan bahwa pagebluk, wabah yang kala itu benar-benar asing, memakan setidaknya 20 persen penduduk pulau Jawa. Tidak tersedia data di pulau-pulaulainnya.
Karenanya berbagai inisiatif warga sangat diperlukan untuk saling menjaga sanaksaudara dan sesama agar tidak terpapar. Tidak ada langkah yang tidak lebih baik dari lainnya. Semua kontribusi, bantuan, dukungan, bahkan dengan hanya berdiam di rumah pun merupakan upaya luar biasa untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona.
Inisiatif Kulidan art space, Artwork Showcase Catatan Visual Pasca Corona menjadi kontribusi tersendiri yang cukup bermakna. Setidaknya ada dua hal besar yang saya lihat. Pertama, Art project ini memberikan ruang bagi para seniman yang terlibat untuk berkontemplasi menghasilkan refleksi karya semasa pandemi. Membayangkan apa yang terjadi pasca pandemic memang tidak mudah. Proses mengekspresikan apa yang menjadi kemelut pada diri masing-masing senimannya di masa pandemic justru menjadi pantulan cerita atau ekspresi masa pandemic.
Kedua, tanpa disadari, melalui project ini kulidan art space bersama para seniman yang terlibat telah memproduksi sebuah pengetahuan seni yang mungkin kita tidak tahu sedalam apa dampak dan makna bagi sejarah seni pandemi. Kulidan Art space bersama para seniman yang terlibat dan karyanya, menjadi salah satu penanda sejarah seni rupa masa corona ini.
Irma Hidayana
Anggota Koalisi Seni Indonesia, Pemerhati Kesehatan Masyarakat dan Perilaku, Co-lnisiator Lapor Covid-19